Mulai dari mana?
Kalau ditanya kapan saya mulai jatuh cinta sama aksesori etnik, jawabannya sederhana: di sebuah pasar kecil waktu liburan, sambil ngopi yang terlalu manis. Ada sesuatu yang bikin saya berhenti melangkah—tas anyaman dengan kancing-kancing kecil, kalung manik-manik yang warnanya tidak pernah saya lihat di kota, dan bau dupa yang entah kenapa bikin ingatan saya lompat ke film-film lama tentang perjalanan. Rasanya seperti menemukan soundtrack baru untuk lemari pakaian saya. Saya pulang dengan tangan kosong tapi kepala penuh ide; keesokan harinya saya browsing, menyisir toko vintage, sampai akhirnya punya beberapa pieces yang sekarang selalu saya pakai kalau butuh mood boost.
Apa yang bikin etnik dan hippie nyambung?
Kalau kita tarik garis besar, hippie itu genre gaya hidup counterculture: bebas, anti-mainstream, dan suka nilai kebersamaan. Aksesori etnik—entah itu kalung suku dari perak, gelang rajut dari India, atau kain ikat—membawa estetika yang sejalan. Mereka bukan mass-produced; setiap helai dan helai punya cerita dan jejak tangan. Ibaratnya, bohemian fashion itu playlist yang dipenuhi lagu-lagu lama dan baru yang masih nyambung nadanya. Saya suka memakai cincin perak tua ketika ingin merasa sedikit ‘berani’ atau menumpuk gelang etnik saat butuh suasana santai, kayak mau piknik tanpa rencana.
Bagaimana cara memadu-padankan tanpa terkesan pakai seragam pasar loak?
Trik paling gampang yang saya pelajari adalah: satu statement piece, sisanya sederhana. Misal, kalung etnik besar dipadukan dengan kaos putih dan jeans; langsung ada drama tapi tetap casual. Atau kalau sudah pakai anting panjang—kurangi kalung. Saya pernah bereksperimen berlebihan dan teman saya berbisik, “Kamu lagi cosplay peri pasar loak?” Saya tertawa, tapi itu momen belajar. Untuk hari-hari kantor yang super rigid, saya memilih aksesori kecil seperti bros atau pin etnik yang elegan—masih ada sentuhan boho tapi tidak mengganggu rapat Zoom.
Satu hal penting: sentuhan hippie itu soal narasi. Kalau bisa, tambahkan elemen personal—misalnya scarf pemberian nenek, atau gelang hasil tukar-jual dari teman yang berkeliling Asia. Itu yang bikin penampilan terasa otentik, bukan cuma meniru tren.
Lebih dari gaya: etika, sejarah, dan why it matters
Saat menikmati estetika bohemian, saya juga belajar tentang konteksnya. Hippie dan boho lahir dari counterculture—penolakan terhadap konsumsi berlebih dan pencarian kebebasan ekspresi. Banyak aksesori etnik yang saya sukai adalah produk kerajinan tangan; itu berarti ada pengrajin dengan cerita. Jadi sekarang saya lebih sering memilih barang yang etis atau vintage. Kadang saya buka-buka toko online lokal atau community market; dan kalau sedang ingin belanja serius, saya mampir ke acessorioshippie untuk cari inspirasi atau dukung usaha kecil.
Namun ada garis tipis antara mengapresiasi dan mengambil tanpa izin. Saya selalu mencoba menanyakan asal-usul barang, menghargai simbolisme budaya, dan kalau memungkinkan membeli langsung dari pengrajin. Selain itu, upcycling jadi hobi lain—mengubah kain lama jadi headband atau memperbaiki gelang yang putus. Rasanya puas banget bisa menyulap barang bekas jadi sesuatu yang baru dan dipakai dengan bangga.
Akhirnya, buat saya aksesori etnik dengan sentuhan hippie itu bukan sekadar pajangan; mereka pemantik suasana hati. Ada hari-hari ketika satu kalung bisa bikin saya merasa lebih berani, atau satu tas anyaman membuat langkah terasa lebih ringan. Fashion bohemian mengajarkan saya satu hal sederhana: jangan takut bercerita lewat apa yang kita pakai. Dan kalau ada yang menatap aneh? Senyum saja—kadang itu tanda kamu berhasil jadi versi paling otentik dari diri sendiri. Eh, dan kalau ada yang bilang kamu mirip peri pasar loak lagi, anggap saja itu komplimen.